Sampang||http://BBG news.id – Penanganan kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan seorang penyanyi dangdut jebolan ajang pencarian bakat ternama kembali menampar wajah keadilan di Sampang, Kali ini, publik digiring pada ironi hukum: korban penganiayaan remaja justru nyaris dikriminalisasi.
Adalah Shita, remaja di bawah umur asal Sampang, yang awalnya melaporkan dugaan pengeroyokan yang dilakukan oleh SL (seorang penyanyi dangdut terkenal) dan adiknya, inisial GK. Namun, tak disangka, laporan itu malah berbalik arah. Korban kini terancam menjadi tersangka.
“Ini jelas janggal, klien kami adalah korban, anak di bawah umur, tapi malah diperlakukan seolah-olah pelaku, polisi seperti kehilangan arah,” tegas Didiyanto, kuasa hukum korban, saat dikonfirmasi pada Kamis (5/6/25) sore.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Didiyanto bahkan menyebut bahwa penanganan Polres Sampang terhadap kasus ini sarat kepentingan dan mengarah pada dugaan pelanggaran HAM, ia mencurigai adanya ‘intervensi tak kasat mata’ dalam proses hukum yang berbelok tajam ini.
“Pasal 351 diterapkan kepada anak di bawah umur, tanpa kajian mendalam? Itu bukan sekadar kelalaian, itu potensi pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia,” kata Didiyanto geram.
Kasus ini membuka tabir betapa longgarnya filter keadilan di kepolisian. Tidak hanya lambat menangani laporan korban, Polres Sampang justru dinilai mengebiri hak-hak anak dengan memutarbalikkan posisi korban dan pelaku.
Shita, yang mengaku dianiaya oleh GK dan SL, melaporkan kejadian tersebut ke Polres pada 13 Maret 2025, namun hingga kini, prosesnya mandek.
Sementara laporan balik dari pihak terlapor justru diproses lebih cepat dan berpotensi menjadikan Shita tersangka.
“Ini bukan sekadar kelambanan birokrasi, ini bisa jadi indikasi bahwa penegakan hukum sedang dimainkan oleh kekuatan yang tak terlihat, apakah angin masuk? ,” tambah Didiyanto menyindir.
Ketimpangan ini memaksa tim kuasa hukum Shita mengambil jalur lain, mereka menyatakan akan membawa perkara ini ke Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga ke Propam Mabes Polri.
“Kami ingin membuka mata publik, bahwa ada yang tidak beres di tubuh Polres Sampang, kalau ini dibiarkan, maka keadilan untuk anak-anak korban kekerasan hanya akan menjadi dongeng,” kata Didiyanto.
Ia juga meminta Polres Sampang melakukan gelar perkara ulang secara terbuka, melibatkan kuasa hukum dan ahli hukum independen.
“Jangan jadikan kepolisian sebagai panggung teater, di mana hukum bisa ditulis ulang oleh para aktor yang punya nama dan kuasa. Ini anak kecil, korban kekerasan, bukan kriminal,” pungkasnya.
Perlu diketahui, Jika penanganan kasus ini terus dibiarkan tanpa pengawasan publik dan lembaga independen, maka bukan hanya Shita yang menjadi korban. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum pun akan makin tergerus. Dan pada titik itu, hukum tak lagi menjadi pelindung, tapi alat represi yang membungkam mereka yang lemah.
Redaksi akan terus memantau perkembangan kasus ini, dan menunggu tanggapan resmi dari Polres Sampang terkait polemik ini.