Bangkalan || http://BBGNews.id — Sebuah drama tragis penuh aroma busuk kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Polres Bangkalan. Kali ini bukan soal kinerja lamban semata, tapi soal manuver berbahaya: penggantian dasar hukum secara sepihak dalam kasus dugaan malpraktik sadis yang mengakibatkan kepala bayi terputus saat proses persalinan di Puskesmas Kedungdung, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan.
Tragedi memilukan itu menimpa keluarga Sulaiman dan Mukarromah pada Mei 2024 silam. Dalam laporan resmi ke Mapolres Bangkalan, suami korban menuntut keadilan atas kejadian yang tak hanya menyayat hati, tapi juga menggambarkan kekacauan layanan kesehatan di daerah.
Awalnya, penyidik menerapkan pasal 84 ayat (2) UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan sebagai dasar hukum penyelidikan. Namun, setelah lebih dari setahun kasus dibiarkan membusuk di laci Unit Pidum, tiba-tiba penyidik ‘terbangun’ setelah LSM Laskar Pemberdayaan dan Peduli Rakyat (LASBANDRA) mengirimkan surat klarifikasi pada 5 Mei 2025.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Entah kebetulan atau memang hanya bergerak ketika diawasi publik, pada hari yang sama Polres Bangkalan menerbitkan surat penyidikan baru.
Namun drama tak berhenti di sana. Dalam audiensi panas tanggal 2 Juni 2025 di Mapolres Bangkalan antara keluarga korban dan penyidik, terkuak fakta mengejutkan: Pasal hukum dalam BAP telah diganti!
“Mohon maaf, betul kami ganti undang-undangnya. Sekarang kami gunakan pasal 305 UU No. 17/2023 tentang Kesehatan, yang mengharuskan ada rekomendasi dari Majelis Disiplin Profesi (MDP),” ujar AKP Hafid Dian Maulidi, Kasatreskrim Polres Bangkalan dengan enteng.
Pernyataan tersebut sontak membakar kemarahan pihak keluarga korban dan tim hukum. Pasalnya, perubahan pasal tersebut bukan hanya mencerminkan inkonsistensi hukum, tapi juga mengindikasikan potensi permainan sandiwara hukum demi kepentingan tertentu.
Barry Dwi Pranata9, S.H., kuasa hukum keluarga korban, mengecam keras tindakan penyidik. Di hadapan awak media ia menyatakan:
“Ini jelas menunjukkan penyidik tidak paham hukum, tidak serius menangani kasus, dan tidak konsisten. Apa UU bisa diganti seenaknya setelah setahun mandek? Ini ada aroma kuat kepentingan. Jangan-jangan penegakan hukum dijadikan alat tawar-menawar demi karir dan jabatan.”
Lebih lanjut, Barry menyebut tindakan penyidik sebagai bentuk pelecehan terhadap rasa keadilan masyarakat.
Perubahan pasal hukum di tengah jalan tanpa penjelasan yuridis yang kuat bukan sekadar prosedural—itu adalah pengkhianatan terhadap nyawa yang telah melayang dan keluarga yang menanti keadilan. Jika penyidik merasa bisa semaunya mengubah dasar hukum, maka jelas hukum bukan lagi panglima. Ia hanyalah alat bagi mereka yang berseragam untuk bermain peran, dan publik hanya penonton tak berdaya.
Jika penegakan hukum di Bangkalan hanya berjalan ketika LSM turun tangan dan publik bersuara, maka kita patut bertanya: apa yang sebenarnya dijaga oleh para penegak hukum di sana—kebenaran atau kekuasaan?