Sampang, BBGNews.id – Tekanan terhadap Kepolisian Daerah Jawa Timur terus menguat setelah Lembaga Swadaya Masyarakat Lasbandra menyuarakan keprihatinan atas lambannya penanganan kasus dugaan korupsi proyek infrastruktur jalan di Kabupaten Sampang, senilai Rp12 miliar.
Proyek yang dimaksud adalah pembangunan jalan dengan metode lapis penetrasi (lapen), bersumber dari Dana Insentif Daerah (DID) tahap II tahun 2020, yang merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pasca-pandemi.
Achmad Rifai, Ketua Lasbandra, dalam keterangannya kepada media, mengatakan bahwa pihaknya telah mengikuti proses hukum ini sejak awal, dan mendorong adanya keterbukaan dari institusi penegak hukum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kasus ini harus diungkap secara menyeluruh. Bukan hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran negara, terutama di daerah,” ujarnya, Selasa (15/7).
Sejauh ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan satu orang tersangka berinisial HM. Pemeriksaan terhadap tujuh orang saksi—terdiri dari pihak dinas, rekanan, dan pelaksana proyek—telah dilakukan pada akhir Juni. Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) juga telah diterima oleh pihak pelapor.
Namun, bagi Lasbandra dan sebagian kalangan masyarakat sipil, penanganan kasus ini masih menyisakan pertanyaan, terutama mengenai kemungkinan adanya aktor-aktor lain yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan hingga pelaksanaan proyek.
“Apakah hanya satu orang yang bertanggung jawab atas proyek sebesar ini? Masyarakat berhak tahu lebih dari itu,” kata Rifai.
Kekhawatiran lainnya datang dari potensi penyelesaian perkara secara tertutup. Sejumlah informasi yang beredar menyebutkan bahwa kasus tersebut ‘sudah selesai’ secara internal. Namun hal itu dibantah tegas oleh Rifai.
“Kami tetap memantau dan akan menempuh jalur lanjutan jika stagnasi ini berlanjut. Termasuk melapor ke Divisi Propam atau mengambil langkah aksi sipil,” jelasnya.
Kasus ini mencerminkan tantangan lebih luas dalam tata kelola proyek infrastruktur di daerah. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai laporan menyebutkan lemahnya sistem pengawasan serta minimnya partisipasi masyarakat dalam memastikan akuntabilitas pelaksanaan proyek publik.
Rifai menyebut bahwa pembongkaran kasus ini bukan hanya soal siapa yang bersalah, tetapi bagaimana memperbaiki pola distribusi dan pelaksanaan anggaran agar tidak terus menjadi lahan rawan penyimpangan.
“Jika tidak dibongkar secara tuntas, praktik serupa akan terus berulang dalam bentuk dan nama yang berbeda,” tutupnya.